IKHWAN ASH-SHAFA
SEJARAH,
RISALAH DAN PANDANGANNYA
TENTANG
FILSAFAT
MAKALAH
Dibuat untuk Memenuhi Tugas
Individu Pengganti UTS
Pada
Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen
Abdul Malik,
S.Ag
Oleh :
Karina Noviyanti
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUKABUMI
2010 M /
1431 H
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim,
Segala puji
hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan
membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
Makalah berjudul Ikhwan
Ash-Shafa Sejarah, Risalah dan Pandangannya tentang Filsafat ini disusun untuk
memenuhi tugas individu pengganti UTS pada mata kuliah filsafat umum. Saya telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada agar
makalah ini dapat tersusun sesuai harapan.
Sesuai dengan fitrahnya,
manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan
kekhilafan, maka dalam makalah yang saya susun ini pun belum mencapai tahap
kesempurnaan.
Saya sampaikan terima kasih
kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian makalah ini,
khususnya kepada Bpk. Abdul Malik, S.Ag yang telah memberikan tugas makalah
ini. Dan umumnya kepada rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dalam bentuk
moril maupun materiil.
Mudah-mudahan makalah ini
dapat memberikan manfaat, dan semoga amal ibadah serta kerja keras kita,
senantiasa mendapat ridho dan ampunan dari-Nya. Amin.
Sukabumi, Nopember 2010
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah .........................................................................
B.
Rumusan Masalah ...................................................................................
C.
Tujuan .....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ikhwan Ash-Shafa ......................................................................
B.
Risalah Ikhwan Ash-Shafa ......................................................................
C.
Pandangan Ikhwan Ash-Shafa tentang Filsafat ......................................
BAB III KOMENTAR PENULIS .......................................................................
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim
yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan Ash-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan Ash-Shafa
adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang
terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat
rahasia, Ikhwan Ash-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan
pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang
didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu
sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Hal
ini berdasarkan sebuah hadis:
(لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبَّ
أَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ)
Ikhwan Ash-Shafa muncul setelah wafatnya
al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah
ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail
Ikhwan Ash-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka
bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok
rahasia, Ikhwan Ash-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan
perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang
disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka
merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita
mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk
dicari hikmah dan pelajaran.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis bahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Jelaskan sejarah berdirinya Ikhwan
Ash-Shafa?
2. Jelaskan mengenai risalah Ikhwan
Ash-Shafa?
3. Bagaimana pandangan Ikhwan Ash-Shafa
tentang filsafat?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah agar para
mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan sejarah berdirinya Ikhwan
Ash-Shafa.
2. Menjelaskan risalah Ikhwan Ash-Shafa.
3. Menjelaskan pandangan Ikhwan Ash-Shafa
tentang filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ikhwan Ash-Shafa
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan
as-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah kelompok atau organisasi
rahasia yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filsuf
Arab muslim. Berdiri di Irak, dan berkembang di kota Bashrah. Kemudian
cabang-cabangnya berdiri di kota Baghdad, hingga menyebar ke sebagian besar
negeri. Kelompok ini berdiri kira-kira tahun 373H/983M pada abad ke 4 Hijriah/
ke 10 Masehi. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan Ash-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al –Majd.
Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab
Merpati Berkalung dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang
sangat mereka hormati.
Kelompok Ikhwan
Ash-Shafa muncul pada saat Daulah Abbasiyah mengalami kelemahan sehingga
mendorong kaum Alawiyin (para keturunan Nabi Muhammad saw.) memicu perang
saudara dan pemberontakan serta menguasai daerah pelosok yang jauh dari
imperium Islam. Mereka mendirikan pemerintahan dan negara-negara kecil. Maka
muncullah Idrisiyah di Maroko, Fatimiyah di Mesir, Qaramithah di Bahrain,
Buwaihiyun di Persia dan Irak, dan Hamdaniyin di Utara Suriah.
Ikhwan Ash-Shafa
berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan at-Tauhidi
menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M ada lima orang kelompok Ikhwan Ash-Shafa
yang terkenal pada masa itu, yaitu Abu
Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu
al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, Abu Hasan al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah. Kelompok ini terkenal dengan
risalahnya yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka.
Jamaluddin
al-Qafthi (1990:59) berkomentar tentang mereka dengan menukil pendapat Abu
Hayyan At-Tauhidi, “Kelompok ini diperkuat oleh perkawanan, saling berbagi atas
dasar pesahabatan, serta berkumpul atas dasar keluhuran, kesucian dan
ketulusan. Selanjutnya, mereka membuat sebuah mazhab dengan beranggapan bahwa
mereka dapat menempuh jalan menuju ridho Allah. Mereka berpendapat bahwa
syariat telah dikotori oleh bermacam kebodohan dan bercampur-baur dengan
berbagai kesesatan, serta tidak ada cara untuk membersihkannya, kecuali dengan
filsafat. Sebab filsafat mengandung hikmah keyakinan dan maslahat ijtihadiyah. Mereka beranggapan jika
filsafat Yunani dan syariat Arab bersatu, maka kesempurnaan akan terjadi.”
Karya monumental
Ikhwan Ash-Shafa adalah ensiklopedia Rasa’il
Ikhwan Ash-Shafa. Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa wa Khilan al-Wafa dibuat pada
abad ke 4 Hijriah yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai
pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya dan menyebarkannya melalui para
penjual kertas buku serta memberikannya kepada orang-orang. Rasail ini terdiri
dari 52 risalah yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga
kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti. Kabarnya Al-Majriti pula yang
pertama-tama membawa ajaran Ikhwan Ash-Shafa di daratan Spanyol.
Ibid berpendapat
bahwa mereka berasal dari kelompok Isma’iliyah.
Mereka menyebarkan kebudayaan dengan cara yang rahasia kepada para pengikutnya,
yaitu melalui surat-menyurat. Karena mereka menyembunyikan nama dan tidak
menyebutkannya di dalam buku-buku risalah, maka orang-orang berbeda pendapat
dalam menyebutkan nama-nama para penyusunnya.
Pertemuan dan
pengajaran yang bersifat rahasia tersebut tak pelak menimbulkan kecurigaan
bahwa mereka menyimpan target politik yang tidak jelas. Tapi mereka menolak
kecurigaan itu dan mengaku bahwa target mereka adalah mencerdaskan dan memberi
petunjuk kepada setiap orang agar mereka mereka memperoleh kebaikan di dunia
dan akhirat. Mereka menyerukan untuk saling menyayangi, bekerjasama, dan
mempererat persaudaraan sejati di antara manusia demi membentuk madinah fadhilah ruhaniyah (kota yang
utama dan spiritual). Agaknya, tentang hal ini ada beberapa kesamaan dengan
konsep madinah fadhilah yang digagas
al-Farabi sebelumnya dalam buku Ara Ahl
al-Madinah al-Fadhilah.
Mereka berusaha
melakukan kompromi antara filsafat Yunani dan syariat Islam. Hal itu juga
menjadi perhatian al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dengan alasan bahwa
filsafat Yunani dan syariat Islam sama-sama merupakan satu kebenaran. Hanya
saja Ikhwan Ash-Shafa tidak mengambil Islam sebagaimana yang terdapat di dalam
al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tetapi mereka mencampurkannya dengan berbagai sekte,
agama dan kepercayaan, dengan anggapan bahwa mazhab mereka mencakup semua
mazhab.
Akidah Ikhwan
Ash-Shafa menimbulkan keraguan. Berbagai isyarat dan simbol yang mereka gunakan
dalam surat-surat merupakan biang tuduhan sesat dari kaum Muslimin terhadap
mereka. Dari pendapat-pendapat mereka, tersirat bahwa mereka mengedepankan
filsafat atas syariat. Mereka memandang bahwa agama sejati adalah persahabatan
yang tulus, pergaulan yang baik, penguasaan ilmu, pendidikan jiwa, dan proses
mengikuti akal. Tujuan utama mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai
risalahnya, adalah pelurusan jiwa dan perbaikan akhlak. (Umar Farwakh, Ikhwan Ash-Shafa:25)
B.
Risalah Ikhwan Ash-Shafa
Ikhwan Ash-Shafa menyusun
sebanyak lima puluh dua risalah (catatan kecil). Lima puluh diantaranya
mencakup semua bidang ilmu yang terkenal di zaman mereka, satu risalah
merupakan daftar isi dari semua risalah yang ada., dan risalah yang kelima
puluh dua atau yang terakhir merupakan risalah pamungkas yang merangkum semua
risalah yang ada sebelumnya. Risalah-risalah tersebut ditulis dengan struktur
bahasa yang mudah dan menjauhi kerumitan dengan pembahasan yang mendalam agar
dapat dijangkau semua orang, sebagaimana halnya risalah tertulis untuk para
penuntut ilmu demi tujuan pencerdasan dan pembelajaran.
Al-Qafthi
menomentari risalah-risalah tersebut, “Risalah-risalah itu merupakan kumpulan
makalah yang menarik, tidak susah dan tidak memuat dalil-dalil dan
argumen-argumen. Seakan-akan risalah-risalah itu merupakan peringatan bagi para
penuntut kebenaran untuk maksud mencapai hikmah tertentu.
Risalah-risalah
Ikhwan Ash-Shafa membahas semua cabang filsafat dan ilmu pengetahuan yang
terkenal pada masa itu. Mereka mengkombinasikan antara ilmu-ilmu filsafat,
sastra, khurafat, dongeng, aliran, dan berbagai keyakinan, sehingga menjadi quasi bidang berbagai pengetahuan yang
mencakup ilmu dan keyakinan kaum terdahulu. Mereka tidak fanatik terhadap satu
mazhab tertentu atua agama tertentu, tetapi mereka menerima semua mazhab dan
agama serta menjadikannya satu konsep.
Pendeknya, mereka
memandang mazhabnya mencakup semua mazhab yang ada. Oleh karena itu, mereka
mengatakan dalam rasailnya, “Ketahuilah saudaraku, kami tidak pernah menentang
semua ilmu, tidak fanatik kepada mazhab tertentu, dan tidak menolak satu kitab
yang dikarang para ahli hikmah dan filosof yang disusun dalam berbagai disiplin
ilmu serta hasil olah fikiran dan penelitian mereka. Sandaran, rujukan dan
bangunan perkara kami adalah kitab-kitab para nabi, wahyu yang mereka terima,
serta berita, ilham dan wahyu yang disampaikan para malaikat.”
Risalah Ikhwan Ash-Shafa
terbagi menjadi empat kelompok. Pertama,
risalah tentang pengajaran ilmu pasti, berisi dua belas risalah matematis
tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan Ash-Shafa, angka dianggap alat penting
untuk mengkaji filsafat. Sebab ilmu angka akar semua sains, saripati
kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam
kelompok ini memuat bagian: pendahuluan, geometri, astronomi, musik, geografi,
proporsi-proporsi harmonik, etika dan tentang seni-seni teoritis dan praktis.
Kedua, risalah
tentang ilmu fisik alam, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas
persoalan fisik-materiil. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan
karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi,
dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian juga masuk dalam
kelompok ini.
Ketiga, risalah
tentang jiwa dan akal, terdiri atas sepuluh risalah psikologis-rasional yang
membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal keruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (‘isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Keempat, risalah
tentang syariat Ilahi, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara
mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan Ash-Shafa, sifat hukum Ilahi,
kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan
terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedia tersebut
kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwal Ash-Shafa mencoba melakukan
penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat
dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasa’il adalah al-Risalat al-Jamiah (Risalah
Komprehensif) yang merupakan sebuah ikhtisar atau ringkasan dari karya aslinya.
Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah
au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah
Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai
al-Risalat al-Jami’ah.
C.
Pandangan Ikhwal Ash-Shafa
tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu
bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu,
kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang
terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan
filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan
ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu:
- mengetahui Tuhan;
- ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
- ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam;
- ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak);
- ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut
Ikhwan Ash Shafa adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike)
sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya adalah cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi
segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan
berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan Ash-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara
filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan sesuai dengan
kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan Ash-Shafa,
bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan
individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada
tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh
keduannya.
Bagi Ikhwan Ash-Shafa,
nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian
tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia
tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate.
Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa hakikat kekufuran (kufr),
kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan ialah bersikap puas terhadap
tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan
imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu
justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka
adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah tempat
menetapnya jiwa dan alam raya.
Untuk menguatkan pendapat kaum empiris, yang mengatakan bahwa
akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa
orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan tingkat pengetahuan rasionalnya.
Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas potensi indrawiah, pola
interaksi mereka dengan lingkungan dan lainnya.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir,
jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh
pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan
(al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs
al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses
emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara
berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan
inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali
memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk
selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah
al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah
al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua
ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan Ash-Shafa
menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta
tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato
memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang
dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato
mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat
mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka
jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui
segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad.
Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan
dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan
al-Shafa mencoba mengintegrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan
bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki
keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu
umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan
perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan
filsafat. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses
pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki
keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini
diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
BAB III
KOMENTAR PENULIS
Ikhwan Ash-Shafa adalah
organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf arab muslim. Pemikiran organisasi ini memadukan
antara agama dan ilmu pengetahuan. Dengan memadukan antara agama dan ilmu
pengetahuan akan dirasa berkualitas dari segi akal dan spiritual. Akan tetapi,
organisasi ini lebih ke batiniyah.
Ikhwan Ash-Shafa
berusaha melakukan kompromi antara filsafat Yunani dan syariat Islam dengan
alasan bahwa filsafat Yunani dan syariat Islam sama-sama merupakan satu
kebenaran. Hanya saja Ikhwan Ash-Shafa tidak mengambil Islam sebagaimana yang
terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tetapi mereka mencampurkannya
dengan berbagai sekte, agama dan kepercayaan, dengan anggapan bahwa mazhab
mereka mencakup semua mazhab. Hal inilah yang
menyebabkan sebagian kaum muslimin menuduh bahwa ajaran Ikhwan Ash-Shafa itu
sesat.
Ikhwan Ash-Shafa
lebih mengedepankan filsafat atas syariat. Mereka memandang bahwa agama sejati
adalah persahabatan yang tulus, pergaulan yang baik, penguasaan ilmu,
pendidikan jiwa, dan proses mengikuti akal. Tujuan utama mereka, sebagaimana
yang disebutkan dalam berbagai risalahnya, adalah pelurusan jiwa dan perbaikan
akhlak.
Masa sekarang, orang memisahkan antara ilmu
agama dengan ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa agama tidak ada
hubungan sama sekali dengan ilmu pengetahuan sehingga banyak orang yang otaknya
pintar, namun moralnya hancur. Orang yang bertindak tidak sesuai dengan agama, maka
tidak akan memperoleh kebahagiaan hidup, ketentraman jiwa, dan tidak akan pernah
merasa puas. Meskipun telah mendapatkan kesuksesan dan harta yang banyak.
Agama sangat
penting sekali sebagai penyeimbang ilmu pengetahuan, karena sumber ilmu
pengetahuan yang utama adalah Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat
macam-macam ilmu pengetahuan yang kita perlukan. Hanya saja manusia khususnya
umat Islam sendiri belum dapat menggali isi dari Al-Qur’an itu. Jika seseorang
mampu bertindak sesuai agama dengan berbekal ilmu pengetahuan yang tinggi, maka
pasti akan memperoleh derajat yang tinggi dihadapan manusia lainnya dan akan
ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Seperti
firman Allah dalam Qs Al-Mujaadilah: 11 berikut:
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Terlepas dari sisi positif dan negatif
pemikirannya, dengan sistem Ikhwan Ash-Shafa
ini diharapkan ada keseimbangan antara akal dan spiritual. Di kabupaten
sukabumi telah diterapkan 10 akhlaqulkarimah pada lembaga pendidikan, salah satunya adalah dengan membaca ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Ini dimaksudkan agar peserta
didik mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah sumber dari berbagai ilmu dan untuk
menanamkan keseimbangan antara akal dan spiritual.
BAB IV
KESIMPULAN
Ikhwan Ash-Shafa adalah kelompok atau organisasi rahasia yang didirikan oleh sekelompok masyarakat
yang terdiri dari para filsuf Arab muslim. Berdiri di Irak, dan berkembang di
kota Bashrah. Kelompok ini berdiri kira-kira tahun 373H/983M pada abad ke 4
Hijriah/ ke 10 Masehi. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan Ash-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al –Majd.
Ikhwan al-Shafa telah
berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa yang dibuat pada abad ke 4
Hijriah yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi
mereka merahasiakan identitasnya dan menyebarkannya melalui para penjual kertas
buku serta memberikannya kepada orang-orang. Rasail ini terdiri dari 52 risalah
yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Melalui karya ini
kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan,
filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan
al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam,
bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak
yang belum terurai. Wallahu A’lam.
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu
bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu,
kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang
terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan
filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan
ilmu ketuhanan.
Menurut Ikhwan Ash-Shafa filsafat adalah cinta
kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud,
yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang
selaras dengan keyakinan itu. Dalam memandang antara filsafat dan
agama, Ikhwan Ash-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara
filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan sesuai dengan
kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan Ash-Shafa,
bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan
individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada
tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh
keduannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, H. A, Filsafat
Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran
Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003.
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
www.ikaari.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar