Senin, 14 Mei 2012

Filsafat Umum


IKHWAN ASH-SHAFA
SEJARAH, RISALAH DAN PANDANGANNYA
TENTANG FILSAFAT
MAKALAH
Dibuat untuk Memenuhi Tugas Individu Pengganti UTS
Pada Mata Kuliah Filsafat Umum


Dosen
Abdul Malik, S.Ag



Oleh :
Karina Noviyanti




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUKABUMI
2010 M / 1431 H




KATA PENGANTAR
 


Bismillahirahmanirrahim,
Segala puji hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Makalah berjudul Ikhwan Ash-Shafa Sejarah, Risalah dan Pandangannya tentang Filsafat ini disusun untuk memenuhi tugas individu pengganti UTS pada mata kuliah filsafat umum. Saya telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan.
Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang saya susun ini pun belum mencapai tahap kesempurnaan.
Saya sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bpk. Abdul Malik, S.Ag yang telah memberikan tugas makalah ini. Dan umumnya kepada rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dalam bentuk moril maupun materiil.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat, dan semoga amal ibadah serta kerja keras kita, senantiasa mendapat ridho dan ampunan dari-Nya. Amin.


                                                                        Sukabumi,   Nopember 2010
                                                                       
Penulis



i
 
 




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR   ......................................................................................... i
DAFTAR ISI   ....................................................................................................... ii

BAB I          PENDAHULUAN
            A. Latar Belakang Masalah   .........................................................................
            B. Rumusan Masalah   ...................................................................................
            C. Tujuan   .....................................................................................................            

BAB II PEMBAHASAN
            A. Sejarah Ikhwan Ash-Shafa  ......................................................................
            B. Risalah Ikhwan Ash-Shafa  ......................................................................  
            C. Pandangan Ikhwan Ash-Shafa tentang Filsafat  ......................................

BAB III KOMENTAR PENULIS  .......................................................................  
BAB IV KESIMPULAN  .......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA  ............................................................................................















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan Ash-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan Ash-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Hal ini berdasarkan sebuah hadis:
 (لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبَّ أَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ)
Ikhwan Ash-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan Ash-Shafa”. Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka memang merahasiakan diri. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan Ash-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Jelaskan sejarah berdirinya Ikhwan Ash-Shafa?
2.      Jelaskan mengenai risalah Ikhwan Ash-Shafa?
3.      Bagaimana pandangan Ikhwan Ash-Shafa tentang filsafat?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah agar para mahasiswa diharapkan dapat:
1.      Menjelaskan sejarah berdirinya Ikhwan Ash-Shafa.
2.      Menjelaskan risalah Ikhwan Ash-Shafa.
3.      Menjelaskan pandangan Ikhwan Ash-Shafa tentang filsafat.

























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Ikhwan Ash-Shafa
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah kelompok atau organisasi rahasia yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filsuf Arab muslim. Berdiri di Irak, dan berkembang di kota Bashrah. Kemudian cabang-cabangnya berdiri di kota Baghdad, hingga menyebar ke sebagian besar negeri. Kelompok ini berdiri kira-kira tahun 373H/983M pada abad ke 4 Hijriah/ ke 10 Masehi. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan Ash-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al –Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab Merpati Berkalung dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati.
Kelompok Ikhwan Ash-Shafa muncul pada saat Daulah Abbasiyah mengalami kelemahan sehingga mendorong kaum Alawiyin (para keturunan Nabi Muhammad saw.) memicu perang saudara dan pemberontakan serta menguasai daerah pelosok yang jauh dari imperium Islam. Mereka mendirikan pemerintahan dan negara-negara kecil. Maka muncullah Idrisiyah di Maroko, Fatimiyah di Mesir, Qaramithah di Bahrain, Buwaihiyun di Persia dan Irak, dan Hamdaniyin di Utara Suriah.
Ikhwan Ash-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan at-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M ada lima orang kelompok Ikhwan Ash-Shafa yang terkenal pada masa itu, yaitu Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, Abu Hasan al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah. Kelompok ini terkenal dengan risalahnya yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka.
Jamaluddin al-Qafthi (1990:59) berkomentar tentang mereka dengan menukil pendapat Abu Hayyan At-Tauhidi, “Kelompok ini diperkuat oleh perkawanan, saling berbagi atas dasar pesahabatan, serta berkumpul atas dasar keluhuran, kesucian dan ketulusan. Selanjutnya, mereka membuat sebuah mazhab dengan beranggapan bahwa mereka dapat menempuh jalan menuju ridho Allah. Mereka berpendapat bahwa syariat telah dikotori oleh bermacam kebodohan dan bercampur-baur dengan berbagai kesesatan, serta tidak ada cara untuk membersihkannya, kecuali dengan filsafat. Sebab filsafat mengandung hikmah keyakinan dan maslahat ijtihadiyah. Mereka beranggapan jika filsafat Yunani dan syariat Arab bersatu, maka kesempurnaan akan terjadi.”
Karya monumental Ikhwan Ash-Shafa adalah ensiklopedia Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa. Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa wa Khilan al-Wafa dibuat pada abad ke 4 Hijriah yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya dan menyebarkannya melalui para penjual kertas buku serta memberikannya kepada orang-orang. Rasail ini terdiri dari 52 risalah yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti. Kabarnya Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan Ash-Shafa di daratan Spanyol.
Ibid berpendapat bahwa mereka berasal dari kelompok Isma’iliyah. Mereka menyebarkan kebudayaan dengan cara yang rahasia kepada para pengikutnya, yaitu melalui surat-menyurat. Karena mereka menyembunyikan nama dan tidak menyebutkannya di dalam buku-buku risalah, maka orang-orang berbeda pendapat dalam menyebutkan nama-nama para penyusunnya.
Pertemuan dan pengajaran yang bersifat rahasia tersebut tak pelak menimbulkan kecurigaan bahwa mereka menyimpan target politik yang tidak jelas. Tapi mereka menolak kecurigaan itu dan mengaku bahwa target mereka adalah mencerdaskan dan memberi petunjuk kepada setiap orang agar mereka mereka memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Mereka menyerukan untuk saling menyayangi, bekerjasama, dan mempererat persaudaraan sejati di antara manusia demi membentuk madinah fadhilah ruhaniyah (kota yang utama dan spiritual). Agaknya, tentang hal ini ada beberapa kesamaan dengan konsep madinah fadhilah yang digagas al-Farabi sebelumnya dalam buku Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Mereka berusaha melakukan kompromi antara filsafat Yunani dan syariat Islam. Hal itu juga menjadi perhatian al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dengan alasan bahwa filsafat Yunani dan syariat Islam sama-sama merupakan satu kebenaran. Hanya saja Ikhwan Ash-Shafa tidak mengambil Islam sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tetapi mereka mencampurkannya dengan berbagai sekte, agama dan kepercayaan, dengan anggapan bahwa mazhab mereka mencakup semua mazhab.
Akidah Ikhwan Ash-Shafa menimbulkan keraguan. Berbagai isyarat dan simbol yang mereka gunakan dalam surat-surat merupakan biang tuduhan sesat dari kaum Muslimin terhadap mereka. Dari pendapat-pendapat mereka, tersirat bahwa mereka mengedepankan filsafat atas syariat. Mereka memandang bahwa agama sejati adalah persahabatan yang tulus, pergaulan yang baik, penguasaan ilmu, pendidikan jiwa, dan proses mengikuti akal. Tujuan utama mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai risalahnya, adalah pelurusan jiwa dan perbaikan akhlak. (Umar Farwakh, Ikhwan Ash-Shafa:25)
B.     Risalah Ikhwan Ash-Shafa
Ikhwan Ash-Shafa menyusun sebanyak lima puluh dua risalah (catatan kecil). Lima puluh diantaranya mencakup semua bidang ilmu yang terkenal di zaman mereka, satu risalah merupakan daftar isi dari semua risalah yang ada., dan risalah yang kelima puluh dua atau yang terakhir merupakan risalah pamungkas yang merangkum semua risalah yang ada sebelumnya. Risalah-risalah tersebut ditulis dengan struktur bahasa yang mudah dan menjauhi kerumitan dengan pembahasan yang mendalam agar dapat dijangkau semua orang, sebagaimana halnya risalah tertulis untuk para penuntut ilmu demi tujuan pencerdasan dan pembelajaran.
Al-Qafthi menomentari risalah-risalah tersebut, “Risalah-risalah itu merupakan kumpulan makalah yang menarik, tidak susah dan tidak memuat dalil-dalil dan argumen-argumen. Seakan-akan risalah-risalah itu merupakan peringatan bagi para penuntut kebenaran untuk maksud mencapai hikmah tertentu.
Risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa membahas semua cabang filsafat dan ilmu pengetahuan yang terkenal pada masa itu. Mereka mengkombinasikan antara ilmu-ilmu filsafat, sastra, khurafat, dongeng, aliran, dan berbagai keyakinan, sehingga menjadi quasi bidang berbagai pengetahuan yang mencakup ilmu dan keyakinan kaum terdahulu. Mereka tidak fanatik terhadap satu mazhab tertentu atua agama tertentu, tetapi mereka menerima semua mazhab dan agama serta menjadikannya satu konsep.
Pendeknya, mereka memandang mazhabnya mencakup semua mazhab yang ada. Oleh karena itu, mereka mengatakan dalam rasailnya, “Ketahuilah saudaraku, kami tidak pernah menentang semua ilmu, tidak fanatik kepada mazhab tertentu, dan tidak menolak satu kitab yang dikarang para ahli hikmah dan filosof yang disusun dalam berbagai disiplin ilmu serta hasil olah fikiran dan penelitian mereka. Sandaran, rujukan dan bangunan perkara kami adalah kitab-kitab para nabi, wahyu yang mereka terima, serta berita, ilham dan wahyu yang disampaikan para malaikat.”
Risalah Ikhwan Ash-Shafa terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, risalah tentang pengajaran ilmu pasti, berisi dua belas risalah matematis tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan Ash-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat. Sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian: pendahuluan, geometri, astronomi, musik, geografi, proporsi-proporsi harmonik, etika dan tentang seni-seni teoritis dan praktis.
Kedua, risalah tentang ilmu fisik alam, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas persoalan fisik-materiil. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian juga masuk dalam kelompok ini.
Ketiga, risalah tentang jiwa dan akal, terdiri atas sepuluh risalah psikologis-rasional yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal keruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (‘isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Keempat, risalah tentang syariat Ilahi, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan Ash-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedia tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwal Ash-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasa’il adalah al-Risalat al-Jamiah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah ikhtisar atau ringkasan dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah.

C.    Pandangan Ikhwal Ash-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu, kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu:
  1. mengetahui Tuhan;
  2. ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
  3. ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam;
  4. ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak);
  5. ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan Ash Shafa adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya adalah cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan Ash-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan Ash-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan Ash-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah tempat menetapnya jiwa dan alam raya.
Untuk menguatkan pendapat kaum empiris, yang mengatakan bahwa akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan tingkat pengetahuan rasionalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas potensi indrawiah, pola interaksi mereka dengan lingkungan dan lainnya.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan Ash-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba mengintegrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.














BAB III
KOMENTAR PENULIS

Ikhwan Ash-Shafa adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf arab muslim. Pemikiran organisasi ini memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan akan dirasa berkualitas dari segi akal dan spiritual. Akan tetapi, organisasi ini lebih ke batiniyah.
Ikhwan Ash-Shafa berusaha melakukan kompromi antara filsafat Yunani dan syariat Islam dengan alasan bahwa filsafat Yunani dan syariat Islam sama-sama merupakan satu kebenaran. Hanya saja Ikhwan Ash-Shafa tidak mengambil Islam sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tetapi mereka mencampurkannya dengan berbagai sekte, agama dan kepercayaan, dengan anggapan bahwa mazhab mereka mencakup semua mazhab. Hal inilah yang menyebabkan sebagian kaum muslimin menuduh bahwa ajaran Ikhwan Ash-Shafa itu sesat.
Ikhwan Ash-Shafa lebih mengedepankan filsafat atas syariat. Mereka memandang bahwa agama sejati adalah persahabatan yang tulus, pergaulan yang baik, penguasaan ilmu, pendidikan jiwa, dan proses mengikuti akal. Tujuan utama mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai risalahnya, adalah pelurusan jiwa dan perbaikan akhlak.
Masa sekarang, orang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa agama tidak ada hubungan sama sekali dengan ilmu pengetahuan sehingga banyak orang yang otaknya pintar, namun moralnya hancur. Orang yang bertindak tidak sesuai dengan agama, maka tidak akan memperoleh kebahagiaan hidup, ketentraman jiwa, dan tidak akan pernah merasa puas. Meskipun telah mendapatkan kesuksesan dan harta yang banyak.
Agama sangat penting sekali sebagai penyeimbang ilmu pengetahuan, karena sumber ilmu pengetahuan yang utama adalah Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat macam-macam ilmu pengetahuan yang kita perlukan. Hanya saja manusia khususnya umat Islam sendiri belum dapat menggali isi dari Al-Qur’an itu. Jika seseorang mampu bertindak sesuai agama dengan berbekal ilmu pengetahuan yang tinggi, maka pasti akan memperoleh derajat yang tinggi dihadapan manusia lainnya dan akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Seperti firman Allah dalam Qs Al-Mujaadilah: 11 berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Terlepas dari sisi positif dan negatif pemikirannya, dengan sistem Ikhwan Ash-Shafa ini diharapkan ada keseimbangan antara akal dan spiritual. Di kabupaten sukabumi telah diterapkan 10 akhlaqulkarimah pada lembaga pendidikan, salah satunya adalah dengan membaca ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah sumber dari berbagai ilmu dan untuk menanamkan keseimbangan antara akal dan spiritual.
















BAB IV
KESIMPULAN

Ikhwan Ash-Shafa adalah kelompok atau organisasi rahasia yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filsuf Arab muslim. Berdiri di Irak, dan berkembang di kota Bashrah. Kelompok ini berdiri kira-kira tahun 373H/983M pada abad ke 4 Hijriah/ ke 10 Masehi. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan Ash-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al –Majd.
Ikhwan al-Shafa telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa yang dibuat pada abad ke 4 Hijriah yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya dan menyebarkannya melalui para penjual kertas buku serta memberikannya kepada orang-orang. Rasail ini terdiri dari 52 risalah yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya.  Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu, kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Menurut Ikhwan Ash-Shafa filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu. Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan Ash-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia. Peniruan ini, menurut Ikhwan Ash-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.



DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, H. A, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
www.ikaari.multiply.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar