Senin, 14 Mei 2012

Ilmu Kalam


KATA PENGANTAR


Puji syukur dengan tulus dipersembahkan kehadirat Allah SWT. Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW. Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
Selanjutnya tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak (dalam hal ini Dosen) terutama Dosen Mata Kuliah Ilmu Kalam yang dengan keikhlasan dan keridhaannya telah membimbing dan memberikan petunjuk dan arahan kepada kami baik dalam belajar atau pun dalam hal yang lainnya. Demikian juga kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dorongan kepada kami didalam menyusun makalah ini.
Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kepada kita semua dan juga mudah-mudahan makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi kita semua umumnya dan juga bagi kami yang membuat makalah khususnya. Amiin





Sukabumi,     April 2010
Penyusun, 






DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB  I ............ : PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 
A.      Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 
B.      Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C.      Tujuan ................................................................................................. 2
BAB  II............ : PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A.      Sejarah Terbentuknya Faham Mu’tazilah .......................................... 3
B.      Prinsip-Prinsip Madzhab Mu’tazilah .................................................. 6
C.      Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap Madzhab Mu’tazilah.......... ..... 11
D.     Tuduhan Kaum Mu’tazilah terhadap Ahli Fiqh & Hadits................... 12
BAB  III .......... : KESIMPULAN .................................................................................. ..... 14
DAFTAR PUSTAKA














DAFTAR PUSTAKA


Ø  Nasution, Harun
(1978). Teologi Islam. IU Press. Jakarta
Ø  Abd. Mu’in, Ta’ib Thahiri, H.M Widjaya, Prof
(1992). Ilmu Kalam. Jakarta, Yogyakarta.
Ø  Nata, H. Abudin MA, DR
(1993). Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. PT. Raja Grafindo. Jakarta
Ø  Abbas, Sirojudin, K.H.
(1994). Istinbath Tiqal Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pustaka Tarbiyah. Jakarta














KAUM MU’TAZILAH

MAKALAH
Dibuat dan Dipresentasikan Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok
Pada Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen:
Drs. H Nandang

Oleh :



Kelompok 3 (Tiga) :
1.      Karina Noviyanti
2.      Dede Yusuf
3.      Lia Sri Mulyana
4.      Evi Siti Sofiah
5.      Asep Firmansyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUKABUMI
2010 M / 1430 H



 











BAB I
PENDAHULUAN


A.       LATAR BELAKANG MASALAH
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan bathin. Didalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut bahwasanya agama Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu juga lingkungan hidup, sejarah, dan perdamaian. Dari berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu.
Namun selama ini Islam banyak dipahami dari segi teologis dan normatif. Jika seseorang bernasib kurang beruntung misalnya, maka secara teologis hal itu terjadi karena takdir Tuhan, atau karena yang bersangkutan menganut faham “Teologi Fatalistis” dan ada juga kaum atau golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasannya, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam.” Atau juga yang disebut Kaum Mu’tazilah.
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku Ilmu Kalam yang berpusat pada peristiwa yang telah terjadi yang mempersoalkan tentang teologi Islam. 







B.        RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan-rumusan masalah mengenai Mu’tazilah secara umum sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah terbentuknya Mu’tazilah?
2.      Bagaimanakah prinsip-prinsip Mu’tazilah ?
3.      Bagaimana pengaruh filsafat Yunani terhadap Madzhab Mu’tazilah ?
4.      Bagai mana tuduhan kaum mu’tajilah terhadap ahli fiqih dan hadits?

C.        TUJUAN
Adapun tujuan disusunnya makalah yang berjudul “Kaum Mu’tazilah” ini dharapkan mahasiswa dapat:
1.      Mengetahui sejarah terbentuknya Madzab Mu’tazilah
2.      Memahami prinsip-prinsip Mu’tazilah
3.      Memahami pengaruh filsafat Yunani terhadap kaum Mu’tazilah
4.      Mengetahui tuduhan kaum Mu’tazilah terhadap Ahli Fiqih dan Hadits
















BAB II
PEMBAHASAN
KAUM MU’TAZILAH


A.       Sejarah Terbentuknya Faham Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih medalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum rasionalis Islam.”
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku ‘Ilm Al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan Al-basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al-basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di mesjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kata (I’tazala’anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya  disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang soal orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang seupa ini tidak mukmin dan tidak pula kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini.
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke mesjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini Kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian faham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Disamping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tidak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn Affan dan ‘Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai didalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut bahwa sewaktu Qois Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari ‘Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya kepada Khalifah. Qais menamai mereka “Mu’tazilin”. Kalau al-Tabari menyebut nama Mu’tazilin, Abu al-Fida, memakai kata “al-Mu’tazilah” sendiri.
Jadi kata-kata “I’tazala” dan “Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.
Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dalam dalam pendapat Ahmad Amin, Mu’tazilah kedua, yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai corak politik, karena mereka, sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan ‘Usman, ‘Ali, Mu’awiyah dan sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan falsafat kedalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.
C.A. Nallino, seorang Orientalist Itali mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin. Berdasarkan pada versi Mas’udi tersebut sebelumnya, ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung arti “Memisahkan diri dari umat Islam lainnya”, sebagai yang terkandung dalam versi yang diberikan al-Syahrastani, al-Baghdadi dan Tasy Kubra Zadah. Tetapi sebaliknya, nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka, menurut versi Mas’udi, merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang memandang ‘Usman, ‘Ali, Mu’awiyah dan orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah, yang memandang mereka tetap mukmin. Oleh karena itu Nallino berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah pertama. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama.
Tetapi teori ini dibantah oleh ‘Ali Sami al-Nasysyar dengan mengemukakan argumen bahwa ada di antara Khalifah-Khalifah Bani Umayyah yang menganut faham Mu’tazilah. Bani Umayyah termasuk dalam salah satu golongan yang bertentangan dengan kaum Khawarij dan yang dipandang oleh kaum Mu’tazilah sebagai orang yang berdosa besar dan akan kekal dalam neraka. Dengan demikian, bagaimana Khalifah dari Bani Umayyah, tanya al-Nasysyar, dapat menjadi pengikut bagi golongan yang memandang dirinya berdosa besar dan akan kekal dalam neraka.
Untuk mengetahui asal-usul Nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetap belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasionil dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al-Mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah pertama dan Mu’tazilah kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan kepastian. Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan Nama Mu’tazilah kepada Wasil dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang mengatakan golongan lawanlah memberikan nama itu kepada mereka. Tetapi kalau kita kembali keucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita jumpai disana keterangan-keterangan yang dapat memberikan kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka; atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan nama itu.
Dari uraian-uraian diatas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah Syaikh al-Mu’tazilah wa qadimuha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir di tahun 81 H di Medinah dan meninggal tahun 131 H. disana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri.  

B.        Prinsip-Prinsip Madzhab Mu’tazilah
Abdul Hasan al-Khayyath dalam kitab al-Intishar berkata: “Seseorang tidak disebut Mu’tazilah sampai terdapat dalam dirinya lima hal: Tauhid dan keadilan, janji dan ancaman, kedudukan diantara dua kedudukan, amar Ma’ruf Nahi Mungkar.”
Itulah prinsip-prinsip umum madzhab Mu’tazilah, maka barang siapa tidak melaksanakan prinsip-prinsip tersebut ia bukan Mu’tazilah. Akan kami bahas tiap-tiap prinsip ini secara ringkas.
1.      Tauhid
Tauhid adalah inti madzhab mereka dan pokok sekte mereka. Al-Asy’ari berkata dalam maqalat al-Islamiyin sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah itu Esa, tiada yang menyerupai, Ia Maha Mendengar, dan Maha Melihat, tidak berjiwa, tidak berbayang, tidak berbangkai, tidak bergambar, tidak berdaging, tidak berdarah, tidak berpribadi, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak panas, tidak dingin, tidak kering, tidak basah, tidak panjang, tidak lebar, tidak dalam, tidak berkumpul, tidak berpisah, tidak bergerak, tidak diam, tidak berbagi, tidak beranggota, tidak berarah, tidak kanan, tidak kiri, tidak depan, tidak belakang, tidak atas, tidak bawah, tidak diliputi tempat, tidak dibatasi waktu, tidak dapat disentuh atau dijauhi, tidak menempati ruang, tidak bersifat dengan sifat makhluk yang menunjukkan hal-hal yang baru dan seterusnya.”
Ia tidak bersifat sama dengan makhluk, dan Ia tidak terikat dengan ruang dan arah, Ia tidak terbatas tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ia tidak dibatasi ukuran, Ia tidak ditutupi tirai, Ia tidak diketahui indra, Ia tidak diukur oleh manusia, Ia tidak menyamai makhluk dalam segala bentuk, Ia tidak melakukan kesalahan, Ia tidak punya cacat, dan setiap apa yang terbetik dalam hati dan tergambar dalam benak tidak menyerupai-Nya, Ia senantiasa yang terdahulu, mendahului semua makhluk, Ia ada sebelum makhluk, Ia senantiasa Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa dan Maha Hidup, Ia senantiasa tidak terlihat mata, tidak diketahui hati, Ia terjangkau benak. Ia tidak mendengar dengan telinga, Ia adalah Dzat yang tidak sama dengan segala sesuatu. Ia Maha tahu dan Maha Kuasa lagi Maha Hidup, Ia tidak seperti ulama yang kuasa dan hidup. Dialah Yang Maha Terdahulu dan tidak ada yang terdahulu selain Dia. Tidak ada Tuhan selain Dia, tidak serikat bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya, tidak ada penolong bagi-Nya dalam membuat dan menciptakan sesuatu. Dia ciptakan apa yang Ia ciptakan, Ia tidak menciptakan sesuatu yang sama sebelumnya, tidak ada sesuatu yang lebih mudah bagi-Nya selain menciptakan sesuatu yang lain dan tidak pula susah bagi-Nya, Ia tidak mungkin mengambil manfaat dan Ia tidak diikuti mudharat. Ia tidak memperoleh kesenangan dan kelezatan, Ia tidak dikenai siksa dan rasa sakit, Ia tidak punya tujuan yang selesai, Ia tidak mungkin binasa, Ia tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Ia Maha Suci dari sentuhan wanita, dan Ia Maha Suci dari mengambil teman atau anak.”
Atas dasar prinsip ini, mereka menyatakan kemungkinan untuk melihat Allah SWT pada hari kiamat sebagai konsekuensi dari sifat-Nya yang berposisi dan mengharap arah. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip tersebut bahwa sifat tiada lain selain dzat, maka jika tidak demikian akan berbilanglah dzat yang Qadim. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip ini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah SWT sebagai konsekuensi dari penolakan berbilangnya sifat Qadim dan sebagai penolakan atas sifat Kalam bagi Allah.
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat.
Tuhan mendengar Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya, Tuhan berkata dengan Zat-Nya, sifat Tuhan tidak ada, kata kaum Mu’tazilah.
Karena itu mereka memfatwakan dan bahkan pernah memaksa orang supaya meyakini bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa Qur’an itu hadits, bukan kata Allah yang qadim sebagai I’tiqad kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Fatwa ini telah menghebohkan dunia Islam dan membunuh beribu-ribu ulama pada abad ke-II H dalam peristiwa yang dinamai “Peristiwa Qur’an makhluk.”

2.      Keadilan
Al-Mas’udi dalam kitab “Muruj al-Dzahab” menjelaskan soal keadilan ini, ia berkata: “Bahwa Allah tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya, tetapi mereka berbuat apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang dengan kemampuan yang Allah berikan padanya, Ia tidak menyuruh kecuali Ia berkehendak, tidak melarang kecuali Ia benci, Ia penolong setiap kebaikan yang diperintahkan, terbebas dari kejelekan yang Ia larang, tidak membebani apa yang mereka tak sanggupi. Maka seseorang tak akan dapat memegang atau melepas tanpa kudrat Allah yang diberikan kepadanya. Ia memiliki kekuasaan, Ia binasakan jika Ia kehendaki. Kalau Ia mau, niscaya memaksa hamba untuk taat, Ia menolak keterpaksaaan dalam maksiat. Akan tetapi Ia tidak berbuat demikian apabila untuk menolak bahaya.
Dengan prinsip tersebut mereka menyanggah Jabariah yang mengatakan bahwa tidak bebas dalam bertindak, maka mereka menganggap azab sebagai kezaliman, tidak berarti bahwa menyuruh orang dengan satu urusan yang ia terpaksa mengingkarinya, atau melarang sesuatu yang ia terpaksa melakukannya.
Atas dasar prinsip-prinsip mereka menyatakan bahwa manusia menciptakan sendiri segala perbuatan, mereka memperhatikan didalamnya keterpaksaan Allah dari kelemahan. Mereka berkata bahwa kemampuan ini adalah tipuan Allah, Dialah yang memberi, Ia memiliki kemampuan sempurna untuk menafsirkan apa yang Ia berikan, akan tetapi Ia memberi agar menyempurnakan beban.
Pokok kedua dari pengajian Mu’tazilah ialah keadilan.
Tuhan Allah itu adil, kata mereka.
Manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi pahala oleh-Nya kalau ia membuat amal ibadah yang baik.
Oleh karena itu, kata kaum Mu’tazilah, sekalian perbuatan manusia diatas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri, biar perbuatan baik atau perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia.

3.      Janji dan Ancaman
Mereka berkeyakinan bahwa janji dan ancaman akan terjadi, maka janji Allah (untuk member pahala) akan terjadi, begitu juga ancaman-Nya (untuk menyiksa) akan terjadi. Maka orang yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan orang yang jahat akan dibalas dengan kejahatan. Tiada dosa besar yang diampuni tanpa taubat, sebagaimana tiada halangan bagi orang yang berbuat baik untuk menerima pahala. Hal ini merupakan satu jawaban terhadap orang Murji’ah yang mengatakan bahwa maksiat tidak mempengaruhi iman, sebagaimana taat tidak mempengaruhi kekafiran. Andaikan pendapat ini benar, maka ancaman Allah itu non-sekte. Maha Suci Allah dari segala tuduhan mereka.
Pokok ketiga tentang janji baik dan janji buruk.
Tuhan telah berjanji-kata kaum Mu’tazilah, bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan janji-Nya.
Akan tetapi, kalau orang mu’min berbuat dosa maka tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan janji-Nya.
Akan tetapi, kalau orang mu’min berbuat dosa maka ia dihukum dalam neraka disuatu tempat, lain dari tempatnya orang kafir. Nerakanya agak dingin, mereka tinggal diantara dua tempat, yakni antara syurga dan neraka. Inilah pokok keempat dari pengajian Mu’tazilah, yaitu “Tempat diantara dua tempat.”

4.      Kedudukan diantara Dua Kedudukan
Pernyataan bahwa seorang Muslim yang bermaksiat berada diantara kedudukan seorang mukmin dan seorang kafir, telah dijelaskan Asy-Syahrastani dalam kitab al-Milal wan Nikal. Ia berkata: “Wasil Bin Atha berkata bahwa iman adalah perilaku baik, apabila terdapat dalam diri seorang maka ia mukmin, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak berprilaku baik, ia tidak berhak dipuji dan ia tidak disebut mukmin, akan tetapi ia bukan kafir, karena ia bersyahadat dan berbuat baik, tidak ada bentuk pengingkaran, akan tetapi apabila ia mati dengan membawa dosa besar tanpa bertaubat maka ia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan, yaitu Ahli neraka dan Ahli syurga, namun siksaan orang tersebut diperingan.”
Kelompok Mu’tazilah berkeyakinan bahwa orang Islam yang maksiat berada diantara dua kedudukan, menurut mereka bahwa orang tersebut boleh dikatakan sebagai seorang Muslim, untuk membedakannya dari orang-orang dzimmi, bukan sebagai pujian atau penghormatan. Dan bahwa orang tersebut juga boleh diperlakukan sebagai orang Muslim, karena diharapkan akan betaubat dan mendapat hidayah.
Ibnu Abil hadid berkata: “Meskipun kami berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak disebut muslim atau mukmin, tapi boleh pula disebut demikian jika dimaksudkan sebagai pembelaan dari orang-orang dzimmi dan penyembah berhala, dengan catatan bukan sebagai penghargaan dan pujian.

5.      Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah prinsip kelima dari kelompok Mu’tazilah yang telah disepakati. Mereka menetapkan hal itu atas semua kaum mukminin, sebagai penyebaran agama dan pemberian petunjuk bagi yang sesat serta penangkal atas serangan orang-orang yang berusaha mencampuradukkan yang hak dan bathil agar merusak agama orang Islam. Oleh karena itu mereka menghalangi orang-orang yang menutupi kebenaran dihadapan orang-orang Zindiq yang muncul pada masa Abbasiyah, yang menghancurkan kebenaran Islam, yang membuka aib Islam, dan yang menolak mereka adalah al-Mahdi. Sebagaimana mereka menghalangi perdebatan terhadap ahli fiqih dan hadits, mereka berusaha menahan mereka menganut faham dengan alasan atau kekerasan dan kekuasaan; hal ini akan kami tunjukkan dalam pembicaraan tentang penciptaan Al-Qur’an. 
Adapun “Amar Ma’ruf” dan “Nahi Munkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum Ahlu Sunnah, akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Qur’an dan Hadits.
Berdasarkan pangkal yang lima ini banyaklah fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan fatwa dunia Islam. Didalam kitab-kitab Ushuludin terdapat banyak sekali perkataan “Khilafan lil Mu’tazilah” yang artinya “Berbeda dengan faham Mu’tazilah.”
Oleh karena itu kemudian umat Islam telah sepakat menetapkan bahwa faham dan I’tiqad kaum Mu’tazilah adalah salah, tak sesuai dengan I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabatnya, tidak sesuai dengan Qur’an dan Hadits.
Imam mereka yang dinamai “Qadli Qudlat” (Qadli dari sekalian Qadli) bernama Abdul Jabbar bin Ahmad (wafat : 415 H) mengarang sebuah buku bernama “Syarah Usulil Khamsah” (Penjelasan tentang pokok yang lima) tebal 804 halaman dimana diterangkan panjang lebar pokok-pokok Keimanan Kaum Mu’tazilah yang lima.

C.        Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap Madzhab Mu’tazilah
Sepanjang sejarah tercatat, bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas (dari tahun 40 H sampai 232 H) daerah-daerah Islam sudah berkembang luas, dari Jazirah Arab sampai Persia, India, Afganistan, Khurasan, dan bahkan orang Islam sudah sampai ke Indonesia dan Tiongkok.
Ke Barat, Islam meluas di seluruh Afrika, ke sekeliling lautan Tengah, al-Jazair, Maroko dan Andalus (Spanyol).
Ketika itu, yakni tahun 120 H, sampai 200 H, negeri-negeri Basrh dan Kufah, kemudian Baghdad dan Marwin, yaitu kota-kota tempat Khalifah sudah didiami oleh orang-orang muslimin baru yang dating dari pelosok-pelosok dunia, karena Iraq dan Marwin (Khurasan) adalah kedudukan khalifah-khalifah yang terkenal.
Banyak orang-orang masuk Islam yang berasal dari orang Nasrani, Budha, Majusi dan juga ahli filsafat dari Yunani penganut-penganut faham aristoteles dan Plato, Pendeta-Pendeta, Rahib-rahib,dan Guru-guru Injil tak sedikit yang masuk Islam.
Setelah mereka masuk Islam mereka lantas ikut membicarakan soal-soal I’tiqad, soal-soal ke-Tuhanan dan soal-soal hukum, pada hal otak dan fikiran mereka masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan lama yang mereka anut dulu. Mereka belum banyak mengetahui hadits dan Qur’an. Yang ada dalam kepala mereka hanyalah pengetahuan agama mereka yang lama atau kepintaran-kepintaran yang berdasarkan filsafat-filsafat Yunani.
Setelah muncul gerakan Mu’tazilah, banyak diantara mereka ini memasukinya karena dalam gerakan ini aqal menjadi raja.
Nah, ketika itu masuklah kedalam Islam filsafat-filsafat Yunani, filsafat Aristoteles dan Plato, ilmu mantik, ilmu logika yang semuanya mengangkat aqal menjadi raja.
Pemikiran Mu’tazilah terpengaruh oleh filsafat ini dan mereka banyak mengambil argumentasi dari sini, maka hal itu tampak dalam argumentasi dan premis-premis mereka.
Dua hal yang mendorong hal itu adalah sebagai berikut:
1.    Bahwa mereka dapat melampiaskan gejolak pemikiran dan kegemaran berfikir mereka, maka mereka jadikan sebagai ajang latihan berfikir dan berargumentasi.
2.    Bahwa ketika para filsuf menyerang prinsip-prinsip Islam, mereka menangkisnya dengan menggunakan metode mereka dalam berdebat dan mereka belajar dari sini bagaimana memenangkan perdebatan.
Sebagai contoh yang dapat dikemukakan, Ibnu Rawandi Imam Kaum Mu’tazilah pernah mengarang buku yang dinamainya “At Taj” (Mahkota). Didalam bukunya ini dipertahankan pendapatnya, bahwa alam ini qadim, ya’ni tak berpemulaan adanya, sama dengan qadimnya Tuhan.
Didalam kitabnya “Az-Zamradah” dipertahankan pendapatnya bahwa risalah Nabi-Nabi itu telah habis dengan matinya. Ia pernah mencemoohkan kitab suci al-Qur’an dengan mengatakan bahwa ia melihat ucapan-ucapan Aktsman bin Saifi lebih bagus dan lebih manis dari salah satu ayat dalam surat “al-Kautsar”.
Nah, oleh karena itu, setiap umat Islam harus hati-hati membaca buku dan kitab-kitab dimana tidak mustahil kadang-kadang terselip atau diselipkan faham-faham Mu’tazilah yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah Nabi.

D.       Tuduhan Mu’tazilah kepada Ahli Fiqih dan Hadits
Kelompok Mu’tazilah menuduh para ahli fiqih dan hadits seperti terlihat pada pernyataan al-Jahiz; Ahmad bin Hambal termasuk orang yang diragukan keagamaannya sehingga tuduhan ini perlu dibahas dengan tuduhan serupa.
Tuduhan orang-orang Mu’tazilah terhadap para ahli fiqih dan hadits bermula sejak kekuasaan Bani Abbas, maka perlu dibahas tuduhan itu dengan tuduhan semacam sejak kemunculannya. Oleh karena itu para ahli fiqih dan hadits menuduh kelompok Mu’tazilah dengan penyimpangan dalam agama, sehingga Imam Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah menganggap mereka orang-orang Zindiq. Sementara Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani berfatwa bahwa orang yang shalat dibelakan orang Mu’tazilah harus mengulangi sholatnya. Maka tersebarlah isu jelek terhadap orang-orang yang berhubungan dengan para Imam tersebut, sehingga mereka menuduh mereka fasik dan merusak kehormatan.
Setiap perselisihan yang melibatkan hawa nafsu pasti mengakibatkan perusakan kehormatan; masing-masing pihak menuduh bathil terhadap lawannya. Kebanyakan tuduhan yang diarahkan pada Mu’tazilah bukan tuduhan yang tidak tumbuh dari pandangan yang tidak 



















BAB III
KESIMPULAN


Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih medalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam.”
Sejarah mu’tajilah berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan Al-basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al-basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di mesjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kata (I’tazala’anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.

Prinsip-Prinsip Madzhab Mu’tazilah
1.    Tauhid
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat. Karena itu mereka memfatwakan dan bahkan pernah memaksa orang supaya meyakini bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa Qur’an itu hadits, bukan kata Allah yang qadim sebagai I’tiqad kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

2.    Keadilan
Manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi pahala oleh-Nya kalau ia membuat amal ibadah yang baik.
Oleh karena itu, kata kaum Mu’tazilah, sekalian perbuatan manusia diatas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri, biar perbuatan baik atau perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia.

3.    Janji dan Ancaman
Tuhan telah berjanji-kata kaum Mu’tazilah, bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan janji-Nya.

4.    Kedudkan di antara dua kedudukan
Kelompok Mu’tazilah berkeyakinan bahwa orang Islam yang maksiat berada diantara dua kedudukan, menurut mereka bahwa orang tersebut boleh dikatakan sebagai seorang Muslim, untuk membedakannya dari orang-orang dzimmi, bukan sebagai pujian atau penghormatan. Dan bahwa orang tersebut juga boleh diperlakukan sebagai orang Muslim, karena diharapkan akan betaubat dan mendapat hidayah.

5.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Adapun “Amar Ma’ruf” dan “Nahi Munkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum Ahlu Sunnah, akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hAmar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah prinsip kelima dari kelompok Mu’tazilah yang telah disepakati. Mereka menetapkan hal itu atas semua kaum mukminin, sebagai penyebaran agama dan pemberian petunjuk bagi yang sesat serta penangkal atas serangan orang-orang yang berusaha mencampuradukkan yang hak dan bathil agar merusak agama orang Islamanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Qur’an dan Hadits.

Filsafat sangat berpengaruh terhadap pola fikir kaum Mu’tazilah. Banyak orang-orang masuk Islam yang berasal dari orang Nasrani, Budha, Majusi dan juga ahli filsafat dari Yunani penganut-penganut faham Aristoteles dan Plato, Pendeta-Pendeta, Rahib-rahib, dan Guru-guru Injil tak sedikit yang masuk Islam.
Setelah mereka masuk Islam mereka lantas ikut membicarakan soal-soal I’tiqad, soal-soal ke-Tuhanan dan soal-soal hukum, pada hal otak dan fikiran mereka masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan lama yang mereka anut dulu. Mereka belum banyak mengetahui hadits dan Qur’an. Yang ada dalam kepala mereka hanyalah pengetahuan agama mereka yang lama atau kepintaran-kepintaran yang berdasarkan filsafat-filsafat Yunani
Karena kaum ma’tajillah selalu menggunakan akal untuk mmutuskan segala sesuatu maka kaum mu’tajilah terhadap para ahli fiqih dan hadits bermula sejak kekuasaan Bani Abbas, maka perlu dibahas tuduhan itu dengan tuduhan semacam sejak kemunculannya. Oleh karena itu para ahli fiqih dan hadits menuduh kelompok Mu’tazilah dengan penyimpangan dalam agama, sehingga Imam Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah menganggap mereka orang-orang Zindiq. Sementara Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani berfatwa bahwa orang yang shalat dibelakan orang Mu’tazilah harus mengulangi sholatnya. Maka tersebarlah isu jelek terhadap orang-orang yang berhubungan dengan para Imam tersebut, sehingga mereka menuduh mereka fasik dan merusak kehormatan.
Setiap perselisihan yang melibatkan hawa nafsu pasti mengakibatkan perusakan kehormatan; masing-masing pihak menuduh bathil terhadap lawannya. Kebanyakan tuduhan yang diarahkan pada Mu’tazilah bukan tuduhan yang tidak tumbuh dari pandangan yang tidak menyimpang, tetapi penyimpangan dan fanatisme pendapatlah yang menjadi pedomannya. Sedangkan setiap fanatisme menutup pengetahuan, maka tidak diragukan lagi bahwa Mu’tazilah benar atau salah, mereka tidak keluar dari agama karena kesalahan mereka. Bagi mereka pahala atas apa yang mere ka serukan dan atas dukungan mereka terhadap Islam, dalam hal ini mereka memiliki kelebihan. Para pengikut Washil telah menyebar ke berbagai negeri Islam mengusir orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Amir bin Abid; seorang sahabat Washil telah memerangi orang-orang Zindiq, membela orang-orang benar dan menyerang orang-orang yang sesat. Ia telah mendukung Basyar bin Burd. Ketika diketahui bahwa ia orang Zindiq maka dukungannya pada kebenaran ia telah lakukan tidak mencegahnya agar tidak diusir dari Baghdad, maka diusirlah ia dari Baghdad dan tidak kembali kecuali setelah wafat Amir pada masa Abu Ja’far Al-Manshur. Ia seorang Zahid, sebagaimana al-Jahiz dengan fanatisme mengatakan: “Sesungguhnya ibadahnya menyempurnakan ibadahnya para ahli fiqih dan hadits.”
Pada setiap generasi Mu’tazilah ada kelompok yang terdorong zuhudnya untuk tidak mengambil uang Negara meski sangat membutuhkannya.
Diriwayatkan bahwa Al-Watsiq berkata kepada Ahmad bin Abi Daud, seorang menteri: “Mengapa tidak kau serahkan sahabat-sahabatku (orang Mu’tazilah), sebagaimana orang lain, dan ini Ja’far bin Basyar diberi 10.000 dirham ia menolaknya, maka aku pergi kepadanya dan meminta izin, tetapi ia menolak untuk memberi izin, aku memenuhinya tanpa izin, maka ia menghunuskan pedang pada mukaku lalu ia berkata: “Sekarang halal bagiku untuk membunuhmu, maka aku berpaling darinya, betapa ia menyerahkan urusan seperti itu? Amat mengherankan bahwa Ja’far ini menerima dua dirham yang dibawa sahabat-sahabatnya untuknya.” Dikatakan kepadanya: “Mengapa kau tolak 10.000 dirham dan kau menerima dua dirham?” Ia berkata: “Para pemilik uang 10.000 itu lebih berhak daripada aku, dan aku lebih berhak pada dua dirham ini, karena aku membutuhkannya dan Allah telah memberikannya kepadaku tanpa masalah.” Itulah jiwa yang tangguh, menganggap syubhat harta penguasa karena diduganya dikumpulkan dengan cara yang tidak halal, maka ia menolak pemberian dan menerima dua dirham yang halal.  
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar