KATA PENGANTAR
Puji syukur dengan tulus dipersembahkan kehadirat Allah SWT.
Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW. Melalui agama ini
terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan
bahagia dunia dan akhirat.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
Selanjutnya tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua
pihak (dalam hal ini Dosen) terutama Dosen Mata Kuliah Ilmu Kalam yang dengan
keikhlasan dan keridhaannya telah membimbing dan memberikan petunjuk dan arahan
kepada kami baik dalam belajar atau pun dalam hal yang lainnya. Demikian juga
kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dorongan kepada kami
didalam menyusun makalah ini.
Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kepada kita semua
dan juga mudah-mudahan makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi kita semua
umumnya dan juga bagi kami yang membuat makalah khususnya. Amiin
Sukabumi, April 2010
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I ............ : PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang Masalah .................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah .............................................................................. 2
C.
Tujuan
................................................................................................. 2
BAB II............ : PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A.
Sejarah
Terbentuknya Faham Mu’tazilah .......................................... 3
B.
Prinsip-Prinsip
Madzhab Mu’tazilah .................................................. 6
C.
Pengaruh
Filsafat Yunani Terhadap Madzhab Mu’tazilah.......... ..... 11
D.
Tuduhan
Kaum Mu’tazilah terhadap Ahli Fiqh & Hadits................... 12
BAB III .......... : KESIMPULAN .................................................................................. ..... 14
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Ø Nasution,
Harun
(1978). Teologi Islam. IU Press. Jakarta
Ø Abd. Mu’in,
Ta’ib Thahiri, H.M Widjaya, Prof
(1992). Ilmu Kalam. Jakarta, Yogyakarta.
Ø Nata, H.
Abudin MA, DR
(1993). Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. PT.
Raja Grafindo. Jakarta
Ø Abbas,
Sirojudin, K.H.
(1994). Istinbath Tiqal Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pustaka Tarbiyah. Jakarta
KAUM MU’TAZILAH
MAKALAH
Dibuat dan Dipresentasikan
Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok
Pada Mata Kuliah Ilmu
Kalam
Dosen:
Drs. H
Nandang
Oleh :
Kelompok 3 (Tiga) :
1. Karina
Noviyanti
2. Dede Yusuf
3. Lia Sri Mulyana
4. Evi Siti Sofiah
5. Asep Firmansyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SUKABUMI
2010 M / 1430 H
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Kehadiran agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan bathin. Didalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang
bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih
bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut
bahwasanya agama Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai
dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan
teknologi, begitu juga lingkungan hidup, sejarah, dan perdamaian. Dari berbagai
dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali
dari berbagai disiplin ilmu.
Namun selama ini Islam banyak
dipahami dari segi teologis dan normatif. Jika seseorang bernasib kurang
beruntung misalnya, maka secara teologis hal itu terjadi karena takdir Tuhan,
atau karena yang bersangkutan menganut faham “Teologi Fatalistis” dan ada juga kaum atau golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam
pembahasannya, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam.” Atau juga yang
disebut Kaum Mu’tazilah.
Berbagai analisa yang dimajukan
tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut
buku-buku Ilmu Kalam yang berpusat pada peristiwa yang telah terjadi yang mempersoalkan
tentang teologi Islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan-rumusan masalah
mengenai Mu’tazilah secara umum sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sejarah terbentuknya Mu’tazilah?
2.
Bagaimanakah
prinsip-prinsip Mu’tazilah ?
3.
Bagaimana
pengaruh filsafat Yunani terhadap Madzhab Mu’tazilah ?
4.
Bagai
mana tuduhan kaum mu’tajilah terhadap ahli fiqih dan hadits?
C.
TUJUAN
Adapun tujuan disusunnya makalah yang
berjudul “Kaum Mu’tazilah” ini dharapkan mahasiswa dapat:
1.
Mengetahui
sejarah terbentuknya Madzab Mu’tazilah
2.
Memahami
prinsip-prinsip Mu’tazilah
3.
Memahami
pengaruh filsafat Yunani terhadap kaum Mu’tazilah
4.
Mengetahui
tuduhan kaum Mu’tazilah terhadap Ahli Fiqih dan Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
KAUM MU’TAZILAH
A.
Sejarah Terbentuknya Faham Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih medalam dan bersifat filosofis
dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam
pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum rasionalis Islam.”
Berbagai analisa yang dimajukan
tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku
‘Ilm Al-Kalam berpusat pada peristiwa
yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan
Al-basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan
Hasan Al-basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya
mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum
Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin.
Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri
dengan mengatakan: “Saya berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
mengambil posisi keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian ia
berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di mesjid;
disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri
mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari
kata (I’tazala’anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata
al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Menurut al-Baghdadi, Wasil dan
temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya
karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang
berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta
pengikut-pengikutnya disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang soal
orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang seupa ini tidak mukmin dan tidak
pula kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah
kepada golongan ini.
Versi lain yang diberikan oleh Tasy
Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke mesjid
Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis
Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri
ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini Kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka
disebut kaum Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain
lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa
pertikaian faham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri dari
pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa
orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi
diantara kedua posisi itu (al-manzilah
bain al-manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah,
karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak
masuk) golongan mukmin dan kafir.
Disamping keterangan-keterangan
klasik ini, ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah
sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum
timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Kalau itu dipakai
sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tidak mau turut campur
dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn Affan dan
‘Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling
bertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai didalam buku-buku
sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut bahwa sewaktu Qois Ibn Sa’ad sampai di
Mesir sebagai Gubernur dari ‘Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian
disana, satu golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke
Kharbita (I’tazalat ila Kharbita).
Dalam suratnya kepada Khalifah. Qais menamai mereka “Mu’tazilin”. Kalau al-Tabari menyebut nama Mu’tazilin, Abu al-Fida,
memakai kata “al-Mu’tazilah” sendiri.
Jadi kata-kata “I’tazala” dan “Mu’tazilah”
telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan
al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian
politik yang ada di zaman mereka.
Dengan demikian golongan Mu’tazilah
pertama ini mempunyai corak politik. Dalam dalam pendapat Ahmad Amin,
Mu’tazilah kedua, yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai corak
politik, karena mereka, sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah juga membahas
praktek-praktek politik yang dilakukan ‘Usman, ‘Ali, Mu’awiyah dan sebagainya.
Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan
teologi dan falsafat kedalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.
C.A. Nallino, seorang Orientalist
Itali mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin. Berdasarkan pada
versi Mas’udi tersebut sebelumnya, ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya
tidak mengandung arti “Memisahkan diri
dari umat Islam lainnya”, sebagai yang terkandung dalam versi yang
diberikan al-Syahrastani, al-Baghdadi dan Tasy Kubra Zadah. Tetapi sebaliknya,
nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka, menurut versi Mas’udi,
merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij, yang memandang
‘Usman, ‘Ali, Mu’awiyah dan orang berdosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah,
yang memandang mereka tetap mukmin. Oleh karena itu Nallino berpendapat bahwa golongan
Mu’tazilah kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah
pertama. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua adalah
lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama.
Tetapi teori ini dibantah oleh ‘Ali
Sami al-Nasysyar dengan mengemukakan argumen bahwa ada di antara Khalifah-Khalifah
Bani Umayyah yang menganut faham Mu’tazilah. Bani Umayyah termasuk dalam salah
satu golongan yang bertentangan dengan kaum Khawarij dan yang dipandang oleh
kaum Mu’tazilah sebagai orang yang berdosa besar dan akan kekal dalam neraka.
Dengan demikian, bagaimana Khalifah dari Bani Umayyah, tanya al-Nasysyar, dapat
menjadi pengikut bagi golongan yang memandang dirinya berdosa besar dan akan
kekal dalam neraka.
Untuk mengetahui asal-usul Nama Mu’tazilah
itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli,
tetap belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama
Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasionil dan liberal dalam
Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa
lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al-Mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah
pertama dan Mu’tazilah kedua, fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan
kepastian. Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan Nama Mu’tazilah kepada
Wasil dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang mengatakan golongan
lawanlah memberikan nama itu kepada mereka. Tetapi kalau kita kembali keucapan-ucapan
kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita jumpai disana keterangan-keterangan yang
dapat memberikan kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu
kepada golongan mereka; atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan nama itu.
Dari uraian-uraian diatas dapat
diketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn
Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah Syaikh al-Mu’tazilah wa qadimuha,
yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir di tahun 81 H di Medinah dan
meninggal tahun 131 H. disana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad
Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri.
B.
Prinsip-Prinsip Madzhab Mu’tazilah
Abdul Hasan al-Khayyath dalam kitab al-Intishar berkata: “Seseorang tidak disebut Mu’tazilah sampai
terdapat dalam dirinya lima hal: Tauhid dan keadilan, janji dan ancaman,
kedudukan diantara dua kedudukan, amar Ma’ruf Nahi Mungkar.”
Itulah prinsip-prinsip umum madzhab
Mu’tazilah, maka barang siapa tidak melaksanakan prinsip-prinsip tersebut ia
bukan Mu’tazilah. Akan kami bahas tiap-tiap prinsip ini secara ringkas.
1. Tauhid
Tauhid adalah inti madzhab mereka dan pokok sekte
mereka. Al-Asy’ari berkata dalam maqalat al-Islamiyin sebagai berikut:
“Sesungguhnya
Allah itu Esa, tiada yang menyerupai, Ia Maha Mendengar, dan Maha Melihat,
tidak berjiwa, tidak berbayang, tidak berbangkai, tidak bergambar, tidak
berdaging, tidak berdarah, tidak berpribadi, tidak berwarna, tidak berasa,
tidak berbau, tidak panas, tidak dingin, tidak kering, tidak basah, tidak
panjang, tidak lebar, tidak dalam, tidak berkumpul, tidak berpisah, tidak
bergerak, tidak diam, tidak berbagi, tidak beranggota, tidak berarah, tidak
kanan, tidak kiri, tidak depan, tidak belakang, tidak atas, tidak bawah, tidak
diliputi tempat, tidak dibatasi waktu, tidak dapat disentuh atau dijauhi, tidak
menempati ruang, tidak bersifat dengan sifat makhluk yang menunjukkan hal-hal
yang baru dan seterusnya.”
Ia tidak bersifat sama dengan
makhluk, dan Ia tidak terikat dengan ruang dan arah, Ia tidak terbatas tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Ia tidak dibatasi ukuran, Ia tidak ditutupi
tirai, Ia tidak diketahui indra, Ia tidak diukur oleh manusia, Ia tidak
menyamai makhluk dalam segala bentuk, Ia tidak melakukan kesalahan, Ia tidak
punya cacat, dan setiap apa yang terbetik dalam hati dan tergambar dalam benak
tidak menyerupai-Nya, Ia senantiasa
yang terdahulu, mendahului semua makhluk, Ia ada sebelum makhluk, Ia senantiasa
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa dan Maha Hidup, Ia senantiasa tidak terlihat
mata, tidak diketahui hati, Ia terjangkau benak. Ia tidak mendengar dengan
telinga, Ia adalah Dzat yang tidak sama dengan segala sesuatu. Ia Maha tahu dan
Maha Kuasa lagi Maha Hidup, Ia tidak seperti ulama yang kuasa dan hidup. Dialah
Yang Maha Terdahulu dan tidak ada yang terdahulu selain Dia. Tidak ada Tuhan
selain Dia, tidak serikat bagi-Nya
dalam kerajaan-Nya, tiada pembantu
bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya, tidak ada penolong bagi-Nya dalam membuat dan menciptakan
sesuatu. Dia ciptakan apa yang Ia ciptakan, Ia tidak menciptakan sesuatu yang
sama sebelumnya, tidak ada sesuatu yang lebih mudah bagi-Nya selain menciptakan sesuatu yang lain dan tidak pula susah bagi-Nya, Ia tidak mungkin mengambil manfaat
dan Ia tidak diikuti mudharat. Ia tidak memperoleh kesenangan dan kelezatan, Ia
tidak dikenai siksa dan rasa sakit, Ia tidak punya tujuan yang selesai, Ia
tidak mungkin binasa, Ia tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Ia Maha Suci
dari sentuhan wanita, dan Ia Maha Suci dari mengambil teman atau anak.”
Atas dasar prinsip ini, mereka
menyatakan kemungkinan untuk melihat Allah SWT pada hari kiamat sebagai
konsekuensi dari sifat-Nya yang
berposisi dan mengharap arah. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip
tersebut bahwa sifat tiada lain selain dzat, maka jika tidak demikian akan
berbilanglah dzat yang Qadim. Mereka juga menyatakan atas dasar prinsip ini
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah SWT sebagai konsekuensi dari penolakan
berbilangnya sifat Qadim dan sebagai penolakan atas sifat Kalam bagi Allah.
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui
adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat.
Tuhan mendengar Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya, Tuhan berkata dengan Zat-Nya, sifat Tuhan tidak ada, kata kaum
Mu’tazilah.
Karena itu mereka memfatwakan dan
bahkan pernah memaksa orang supaya meyakini bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa
Qur’an itu hadits, bukan kata Allah yang qadim sebagai I’tiqad kaum Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah.
Fatwa ini telah menghebohkan dunia
Islam dan membunuh beribu-ribu ulama pada abad ke-II H dalam peristiwa yang
dinamai “Peristiwa Qur’an makhluk.”
2. Keadilan
Al-Mas’udi dalam kitab “Muruj al-Dzahab” menjelaskan soal keadilan ini, ia berkata: “Bahwa Allah
tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya, tetapi mereka berbuat apa yang
diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang dengan kemampuan yang Allah
berikan padanya, Ia tidak menyuruh kecuali Ia berkehendak, tidak melarang
kecuali Ia benci, Ia penolong setiap kebaikan yang diperintahkan, terbebas dari
kejelekan yang Ia larang, tidak membebani apa yang mereka tak sanggupi. Maka
seseorang tak akan dapat memegang atau melepas tanpa kudrat Allah yang
diberikan kepadanya. Ia memiliki kekuasaan, Ia binasakan jika Ia kehendaki.
Kalau Ia mau, niscaya memaksa hamba untuk taat, Ia menolak keterpaksaaan dalam
maksiat. Akan tetapi Ia tidak berbuat demikian apabila untuk menolak bahaya.
Dengan prinsip tersebut mereka menyanggah Jabariah
yang mengatakan bahwa tidak bebas dalam bertindak, maka mereka menganggap azab
sebagai kezaliman, tidak berarti bahwa menyuruh orang dengan satu urusan yang
ia terpaksa mengingkarinya, atau melarang sesuatu yang ia terpaksa
melakukannya.
Atas dasar prinsip-prinsip mereka menyatakan bahwa
manusia menciptakan sendiri segala perbuatan, mereka memperhatikan didalamnya
keterpaksaan Allah dari kelemahan. Mereka berkata bahwa kemampuan ini adalah
tipuan Allah, Dialah yang memberi, Ia memiliki kemampuan sempurna untuk
menafsirkan apa yang Ia berikan, akan tetapi Ia memberi agar menyempurnakan
beban.
Pokok kedua dari pengajian Mu’tazilah ialah keadilan.
Tuhan Allah itu adil, kata mereka.
Manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa
dan diberi pahala oleh-Nya kalau ia
membuat amal ibadah yang baik.
Oleh karena itu, kata kaum Mu’tazilah, sekalian
perbuatan manusia diatas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri,
biar perbuatan baik atau perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tak ada
sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang akan
dikerjakan oleh manusia.
3. Janji dan Ancaman
Mereka berkeyakinan bahwa janji dan ancaman akan
terjadi, maka janji Allah (untuk member pahala) akan terjadi, begitu juga
ancaman-Nya (untuk menyiksa) akan
terjadi. Maka orang yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan orang
yang jahat akan dibalas dengan kejahatan. Tiada dosa besar yang diampuni tanpa
taubat, sebagaimana tiada halangan bagi orang yang berbuat baik untuk menerima
pahala. Hal ini merupakan satu jawaban terhadap orang Murji’ah yang mengatakan
bahwa maksiat tidak mempengaruhi iman, sebagaimana taat tidak mempengaruhi
kekafiran. Andaikan pendapat ini benar, maka ancaman Allah itu non-sekte. Maha Suci Allah dari segala
tuduhan mereka.
Pokok ketiga tentang janji baik dan janji buruk.
Tuhan telah berjanji-kata kaum Mu’tazilah, bahwa siapa
yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan
diberi-Nya upah. Oleh karena itu
sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat
sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan
janji-Nya.
Akan tetapi, kalau orang mu’min berbuat dosa maka
tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia
wafat sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai
dengan janji-Nya.
Akan tetapi, kalau orang mu’min berbuat dosa maka ia
dihukum dalam neraka disuatu tempat, lain dari tempatnya orang kafir. Nerakanya
agak dingin, mereka tinggal diantara dua tempat, yakni antara syurga dan
neraka. Inilah pokok keempat dari pengajian Mu’tazilah, yaitu “Tempat diantara dua tempat.”
4. Kedudukan diantara Dua Kedudukan
Pernyataan bahwa seorang Muslim yang bermaksiat berada
diantara kedudukan seorang mukmin dan seorang kafir, telah dijelaskan
Asy-Syahrastani dalam kitab al-Milal wan
Nikal. Ia berkata: “Wasil Bin Atha
berkata bahwa iman adalah perilaku baik, apabila terdapat dalam diri seorang
maka ia mukmin, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak berprilaku baik,
ia tidak berhak dipuji dan ia tidak disebut mukmin, akan tetapi ia bukan kafir,
karena ia bersyahadat dan berbuat baik, tidak ada bentuk pengingkaran, akan
tetapi apabila ia mati dengan membawa dosa besar tanpa bertaubat maka ia kekal
di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan, yaitu Ahli neraka dan Ahli
syurga, namun siksaan orang tersebut diperingan.”
Kelompok Mu’tazilah berkeyakinan bahwa orang Islam
yang maksiat berada diantara dua kedudukan, menurut mereka bahwa orang tersebut
boleh dikatakan sebagai seorang Muslim, untuk membedakannya dari orang-orang
dzimmi, bukan sebagai pujian atau penghormatan. Dan bahwa orang tersebut juga
boleh diperlakukan sebagai orang Muslim, karena diharapkan akan betaubat dan
mendapat hidayah.
Ibnu Abil hadid berkata: “Meskipun kami berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak disebut muslim
atau mukmin, tapi boleh pula disebut demikian jika dimaksudkan sebagai
pembelaan dari orang-orang dzimmi dan penyembah berhala, dengan catatan bukan
sebagai penghargaan dan pujian.”
5. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah prinsip kelima dari
kelompok Mu’tazilah yang telah disepakati. Mereka menetapkan hal itu atas semua
kaum mukminin, sebagai penyebaran agama dan pemberian petunjuk bagi yang sesat
serta penangkal atas serangan orang-orang yang berusaha mencampuradukkan yang
hak dan bathil agar merusak agama orang Islam. Oleh karena itu mereka
menghalangi orang-orang yang menutupi kebenaran dihadapan orang-orang Zindiq
yang muncul pada masa Abbasiyah, yang menghancurkan kebenaran Islam, yang
membuka aib Islam, dan yang menolak mereka adalah al-Mahdi. Sebagaimana mereka
menghalangi perdebatan terhadap ahli fiqih dan hadits, mereka berusaha menahan
mereka menganut faham dengan alasan atau kekerasan dan kekuasaan; hal ini akan
kami tunjukkan dalam pembicaraan tentang penciptaan Al-Qur’an.
Adapun “Amar
Ma’ruf” dan “Nahi Munkar” adalah
wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum Ahlu Sunnah, akan
tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan
ma’ruf yang sesuai dengan Qur’an dan Hadits.
Berdasarkan pangkal yang lima ini banyaklah
fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah yang bertentangan dengan fatwa dunia Islam. Didalam
kitab-kitab Ushuludin terdapat banyak sekali perkataan “Khilafan lil Mu’tazilah” yang artinya “Berbeda dengan faham Mu’tazilah.”
Oleh karena itu kemudian umat Islam telah sepakat
menetapkan bahwa faham dan I’tiqad kaum Mu’tazilah adalah salah, tak sesuai
dengan I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabatnya, tidak sesuai dengan Qur’an dan
Hadits.
Imam mereka yang dinamai “Qadli Qudlat” (Qadli dari
sekalian Qadli) bernama Abdul Jabbar bin Ahmad (wafat : 415 H) mengarang
sebuah buku bernama “Syarah Usulil
Khamsah” (Penjelasan tentang pokok yang lima) tebal 804 halaman dimana
diterangkan panjang lebar pokok-pokok Keimanan Kaum Mu’tazilah yang lima.
C.
Pengaruh Filsafat Yunani Terhadap
Madzhab Mu’tazilah
Sepanjang sejarah tercatat, bahwa
pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas (dari tahun 40 H sampai 232
H) daerah-daerah Islam sudah berkembang luas, dari Jazirah Arab sampai Persia,
India, Afganistan, Khurasan, dan bahkan orang Islam sudah sampai ke Indonesia
dan Tiongkok.
Ke Barat, Islam meluas di seluruh
Afrika, ke sekeliling lautan Tengah, al-Jazair, Maroko dan Andalus (Spanyol).
Ketika itu, yakni tahun 120 H, sampai
200 H, negeri-negeri Basrh dan Kufah, kemudian Baghdad dan Marwin, yaitu
kota-kota tempat Khalifah sudah didiami oleh orang-orang muslimin baru yang
dating dari pelosok-pelosok dunia, karena Iraq dan Marwin (Khurasan) adalah
kedudukan khalifah-khalifah yang terkenal.
Banyak orang-orang masuk Islam yang
berasal dari orang Nasrani, Budha, Majusi dan juga ahli filsafat dari Yunani
penganut-penganut faham aristoteles dan Plato, Pendeta-Pendeta, Rahib-rahib,dan
Guru-guru Injil tak sedikit yang masuk Islam.
Setelah mereka masuk Islam mereka
lantas ikut membicarakan soal-soal I’tiqad, soal-soal ke-Tuhanan dan soal-soal hukum,
pada hal otak dan fikiran mereka masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan
lama yang mereka anut dulu. Mereka belum banyak mengetahui hadits dan Qur’an.
Yang ada dalam kepala mereka hanyalah pengetahuan agama mereka yang lama atau
kepintaran-kepintaran yang berdasarkan filsafat-filsafat Yunani.
Setelah muncul gerakan Mu’tazilah,
banyak diantara mereka ini memasukinya karena dalam gerakan ini aqal menjadi raja.
Nah, ketika itu masuklah kedalam
Islam filsafat-filsafat Yunani, filsafat Aristoteles dan Plato, ilmu mantik,
ilmu logika yang semuanya mengangkat aqal menjadi raja.
Pemikiran Mu’tazilah terpengaruh oleh
filsafat ini dan mereka banyak mengambil argumentasi dari sini, maka hal itu
tampak dalam argumentasi dan premis-premis mereka.
Dua hal yang mendorong hal itu adalah
sebagai berikut:
1.
Bahwa
mereka dapat melampiaskan gejolak pemikiran dan kegemaran berfikir mereka, maka
mereka jadikan sebagai ajang latihan berfikir dan berargumentasi.
2.
Bahwa
ketika para filsuf menyerang prinsip-prinsip Islam, mereka menangkisnya dengan
menggunakan metode mereka dalam berdebat dan mereka belajar dari sini bagaimana
memenangkan perdebatan.
Sebagai contoh yang dapat
dikemukakan, Ibnu Rawandi Imam Kaum Mu’tazilah pernah mengarang buku yang
dinamainya “At Taj” (Mahkota).
Didalam bukunya ini dipertahankan pendapatnya, bahwa alam ini qadim, ya’ni tak berpemulaan adanya,
sama dengan qadimnya Tuhan.
Didalam kitabnya “Az-Zamradah” dipertahankan pendapatnya
bahwa risalah Nabi-Nabi itu telah habis dengan matinya. Ia pernah mencemoohkan
kitab suci al-Qur’an dengan mengatakan bahwa ia melihat ucapan-ucapan Aktsman
bin Saifi lebih bagus dan lebih manis dari salah satu ayat dalam surat “al-Kautsar”.
Nah, oleh karena itu, setiap umat
Islam harus hati-hati membaca buku dan kitab-kitab dimana tidak mustahil
kadang-kadang terselip atau diselipkan faham-faham Mu’tazilah yang bertentangan
dengan Qur’an dan Sunnah Nabi.
D.
Tuduhan Mu’tazilah kepada Ahli Fiqih
dan Hadits
Kelompok Mu’tazilah menuduh para ahli
fiqih dan hadits seperti terlihat pada pernyataan al-Jahiz; Ahmad bin Hambal
termasuk orang yang diragukan keagamaannya sehingga tuduhan ini perlu dibahas
dengan tuduhan serupa.
Tuduhan orang-orang Mu’tazilah terhadap
para ahli fiqih dan hadits bermula sejak kekuasaan Bani Abbas, maka perlu
dibahas tuduhan itu dengan tuduhan semacam sejak kemunculannya. Oleh karena itu
para ahli fiqih dan hadits menuduh kelompok Mu’tazilah dengan penyimpangan
dalam agama, sehingga Imam Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah menganggap mereka
orang-orang Zindiq. Sementara Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani berfatwa
bahwa orang yang shalat dibelakan orang Mu’tazilah harus mengulangi sholatnya.
Maka tersebarlah isu jelek terhadap orang-orang yang berhubungan dengan para
Imam tersebut, sehingga mereka menuduh mereka fasik dan merusak kehormatan.
Setiap perselisihan yang melibatkan
hawa nafsu pasti mengakibatkan perusakan kehormatan; masing-masing pihak menuduh
bathil terhadap lawannya. Kebanyakan tuduhan yang diarahkan pada Mu’tazilah
bukan tuduhan yang tidak tumbuh dari pandangan yang tidak
BAB III
KESIMPULAN
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih medalam dan bersifat filosofis
dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam
pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam.”
Sejarah mu’tajilah berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan Al-basri di
Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan
Al-basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai
pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum Khawarij
memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika
Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan
mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil
posisi keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian ia berdiri dan
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di mesjid; disana ia
mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kata
(I’tazala’anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata
al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Prinsip-Prinsip Madzhab Mu’tazilah
1. Tauhid
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui
adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat. Karena
itu mereka memfatwakan dan bahkan pernah memaksa orang supaya meyakini bahwa
Qur’an itu makhluk, bahwa Qur’an itu hadits, bukan kata Allah yang qadim
sebagai I’tiqad kaum Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
2. Keadilan
Manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa
dan diberi pahala oleh-Nya kalau ia
membuat amal ibadah yang baik.
Oleh karena itu, kata kaum Mu’tazilah, sekalian perbuatan
manusia diatas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia sendiri, biar
perbuatan baik atau perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tak ada sangkut
pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh
manusia.
3. Janji dan Ancaman
Tuhan telah berjanji-kata kaum Mu’tazilah, bahwa siapa
yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan
diberi-Nya upah. Oleh karena itu sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan
diampuni-Nya lagi kalau ia wafat
sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan
janji-Nya.
4. Kedudkan di antara dua kedudukan
Kelompok Mu’tazilah berkeyakinan bahwa orang Islam
yang maksiat berada diantara dua kedudukan, menurut mereka bahwa orang tersebut
boleh dikatakan sebagai seorang Muslim, untuk membedakannya dari orang-orang
dzimmi, bukan sebagai pujian atau penghormatan. Dan bahwa orang tersebut juga boleh
diperlakukan sebagai orang Muslim, karena diharapkan akan betaubat dan mendapat
hidayah.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Adapun “Amar
Ma’ruf” dan “Nahi Munkar” adalah
wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum Ahlu Sunnah, akan
tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hAmar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah
prinsip kelima dari kelompok Mu’tazilah yang telah disepakati. Mereka
menetapkan hal itu atas semua kaum mukminin, sebagai penyebaran agama dan
pemberian petunjuk bagi yang sesat serta penangkal atas serangan orang-orang
yang berusaha mencampuradukkan yang hak dan bathil agar merusak agama orang
Islamanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Qur’an dan Hadits.
Filsafat sangat berpengaruh terhadap
pola fikir kaum Mu’tazilah. Banyak orang-orang masuk Islam yang berasal dari
orang Nasrani, Budha, Majusi dan juga ahli filsafat dari Yunani
penganut-penganut faham Aristoteles dan Plato, Pendeta-Pendeta, Rahib-rahib, dan
Guru-guru Injil tak sedikit yang masuk Islam.
Setelah mereka masuk Islam mereka
lantas ikut membicarakan soal-soal I’tiqad, soal-soal ke-Tuhanan dan soal-soal
hukum, pada hal otak dan fikiran mereka masih dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan lama yang mereka anut dulu. Mereka belum banyak
mengetahui hadits dan Qur’an. Yang ada dalam kepala mereka hanyalah pengetahuan
agama mereka yang lama atau kepintaran-kepintaran yang berdasarkan
filsafat-filsafat Yunani
Karena kaum ma’tajillah selalu menggunakan akal untuk
mmutuskan segala sesuatu maka kaum mu’tajilah terhadap para ahli fiqih dan
hadits bermula sejak kekuasaan Bani Abbas, maka perlu dibahas tuduhan itu
dengan tuduhan semacam sejak kemunculannya. Oleh karena itu para ahli fiqih dan
hadits menuduh kelompok Mu’tazilah dengan penyimpangan dalam agama, sehingga Imam
Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah menganggap mereka orang-orang Zindiq. Sementara
Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani berfatwa bahwa orang yang shalat
dibelakan orang Mu’tazilah harus mengulangi sholatnya. Maka tersebarlah isu
jelek terhadap orang-orang yang berhubungan dengan para Imam tersebut, sehingga
mereka menuduh mereka fasik dan merusak kehormatan.
Setiap perselisihan yang melibatkan hawa nafsu pasti
mengakibatkan perusakan kehormatan; masing-masing pihak menuduh bathil terhadap
lawannya. Kebanyakan tuduhan yang diarahkan pada Mu’tazilah bukan tuduhan yang
tidak tumbuh dari pandangan yang tidak menyimpang, tetapi penyimpangan dan fanatisme
pendapatlah yang menjadi pedomannya. Sedangkan setiap fanatisme menutup
pengetahuan, maka tidak diragukan lagi bahwa Mu’tazilah benar atau salah,
mereka tidak keluar dari agama karena kesalahan mereka. Bagi mereka pahala atas
apa yang mere ka serukan dan atas dukungan mereka terhadap Islam, dalam hal ini
mereka memiliki kelebihan. Para pengikut Washil telah menyebar ke berbagai
negeri Islam mengusir orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Amir bin Abid;
seorang sahabat Washil telah memerangi orang-orang Zindiq, membela orang-orang
benar dan menyerang orang-orang yang sesat. Ia telah mendukung Basyar bin Burd.
Ketika diketahui bahwa ia orang Zindiq maka dukungannya pada kebenaran ia telah
lakukan tidak mencegahnya agar tidak diusir dari Baghdad, maka diusirlah ia
dari Baghdad dan tidak kembali kecuali setelah wafat Amir pada masa Abu Ja’far
Al-Manshur. Ia seorang Zahid, sebagaimana al-Jahiz dengan fanatisme mengatakan:
“Sesungguhnya ibadahnya menyempurnakan
ibadahnya para ahli fiqih dan hadits.”
Pada setiap generasi Mu’tazilah ada kelompok yang terdorong
zuhudnya untuk tidak mengambil uang Negara meski sangat membutuhkannya.
Diriwayatkan bahwa Al-Watsiq berkata kepada Ahmad bin Abi
Daud, seorang menteri: “Mengapa tidak kau serahkan sahabat-sahabatku (orang
Mu’tazilah), sebagaimana orang lain, dan ini Ja’far bin Basyar diberi 10.000
dirham ia menolaknya, maka aku pergi kepadanya dan meminta izin, tetapi ia
menolak untuk memberi izin, aku memenuhinya tanpa izin, maka ia menghunuskan
pedang pada mukaku lalu ia berkata: “Sekarang
halal bagiku untuk membunuhmu, maka aku berpaling darinya, betapa ia
menyerahkan urusan seperti itu? Amat mengherankan bahwa Ja’far ini menerima dua
dirham yang dibawa sahabat-sahabatnya untuknya.” Dikatakan kepadanya: “Mengapa kau tolak 10.000 dirham dan kau
menerima dua dirham?” Ia berkata: “Para
pemilik uang 10.000 itu lebih berhak daripada aku, dan aku lebih berhak pada
dua dirham ini, karena aku membutuhkannya dan Allah telah memberikannya kepadaku
tanpa masalah.” Itulah jiwa yang tangguh, menganggap syubhat harta penguasa
karena diduganya dikumpulkan dengan cara yang tidak halal, maka ia menolak
pemberian dan menerima dua dirham yang halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar